Photobucket

Welcome ^_^


Minggu, 16 Januari 2011

Mencari Akar Dinamisasi Minangkabau


Seorang peneliti Indonesia dari luar, bisa dimaafkan kalau mengira bahwa dua budaya besar Nusantara adalah Jawa dan Minangkabau. Apabila kita menyimak nama-nama dalam buku-buku sejarah atau membuat daftar orang-orang yang telah membentuk budaya nasional, kedua kelompok etnik ini akan terlihat menonjol. Pakar-pakar kolonial Belanda menempatkan orang Minangkabau dari Sumatera Barat – dianggap dinamik, berwawasan ke luar, dan bertauhid – sebagai imbangan terhadap orang Jawa yang feodal, involutif, dan sinkretik keagamaannya.

Jadi, adalah menakjubkan bahwa ternyata pada 1930 orang Jawa mencapai 47 persen penduduk Hindia Timur Belanda. Ditambah lagi orang Sunda di Jawa Barat dan Madura – ketiga kelompok etnis yang bersama-sama dipandang negara sebagai jantung budayanya – maka jumlahnya mencapai 70 persen penduduk. Pada masa itu, orang Minangkabau hanya 3,36 persen penduduk Hindia, kurang dari dua juta orang. Mengingat dominasi orang Jawa ini, adalah mengherankan bahwa orang Minangkabau, suatu wilayah kecil dan marginal dalam suatu kepulauan besar, begitu meraksasa dalam sejarah nasional. Jumlah besar orang Minangkabau dalam daftar orang-orang ternama Indonesia, belum pernah terjelaskan dengan memuaskan.

Dan pertanyaan (baca : permasalahan) inilah, yang coba dijawab oleh Jeffrey Hadler melalui bukunya, Sengketa Tiada Putus (Freedom Institute, 2010). Karya ini pada mulanya merupakan disertasi Hadler untuk meraih gelar PhD di Cornell University. Dan kemudian atas inisiatif penerbit kampus, karya ini dibukukan dengan mengambil judul, Muslim and Matriachs : Cultural Resilience in Indonesia throuh Jihad and Colonialism (Cornell University Press, 2008).


Selain untuk menjawab pertanyaan di atas, Hadler dengan lugas mengatakan, buku ini merupakan reaksi terhadap rezim-rezim represif dan suatu upaya untuk mencari contoh terbalik terhadap monolit-monolit yang disokong negara. Maksudnya, melalui buku ini Hadler ingin menunjukkan bahwa tindakan represif negara untuk mengubah tatanan adat yang telah mengakar dan berlaku lama, dalam jangka panjang akan mengalami kegagalan. Dan ia berpendapat, Minangkabau merupakan salah satu bentuk sempurna kesatuan etnis yang bisa bertahan dari segala gempuran ideologi asing. Taufik Abdullah mencatat, sejak kedatangan Islam pada abad ke-16, intervensi Aceh di pesisir barat pada abad ke-17, pergolakan kaum Paderi di abad ke-19, serta menguatnya kolonialisme Belanda di abad ke-20, eksistensi adat Minangkabau tak pernah surut apalagi tenggelam. Dalam beberapa kali tikungan sejarah, perkataan bahwa adat ndak lakang dek paneh, dan ndak lapuak dek hujan, terbukti benar adanya. Walau selama periode-periode tersebut, pertentangan dan redefinisi adat acap kali terjadi. Pertanyaan dan perdebatan mengenai kedudukan adat, Islam, dan modernisasi inilah, yang membuat dunia Minangkabau menjadi salah satu daerah di Nusantara yang paling bergejolak. Dan gejolak inilah yang coba diterangkan oleh Hadler melalui buku setebal 372 halaman.

Seperti para periset Minangkabau lainnya, pangkal tolak penelitian Hadler bermula dari keheranannya, mengenai besarnya kontribusi etnis kecil dalam percaturan kehidupan nasional. Seperti halnya Dobbin, Kato, Graves, dan de Jong, keheranan Hadler akan Minangkabau, juga digambarkannya secara seimbang lewat angka-angka statistik (kuantitatif) dan pencapaian yang diraih anak-anak negeri (kualitatif). Hadler juga menghitung-hitung, tokoh-tokoh Minangkabau yang mencuat ke pentas politik, budaya, dan keagamaan, yang kesemuanya itu telah memainkan peranan cukup besar, kalau tidak dikatakan yang paling besar, dalam peradaban Indonesia dan Nusantara pada umumnya.

Buku ini terbagi dalam tujuh bab : (1) Sengketa Tiada Putus, (2) Bentuk-bentuk Rumah, (3) Interior dan Bentuk-bentuk Keluarga, (4) Mendidik Anak-anak, (5) Sengketa Pribadi, (6) Gempa Bumi, dan (7) Keluarga-keluarga dalam Gerak, yang kesemuanya itu merupakan faktor-faktor pembentuk dinamisasi masyarakat Minangkabau. Dalam kesimpulannya, Kerbau yang Menang, Matriarkat Berdaya Tahan, Hadler merangkum : kegalauan, kompromi, dan kemajuan, semacam tesis, anti-tesis, dan sintesis bagi masyarakat Minang.

Dalam penutupnya, Hadler menukilkan dengan indah : Sejarah politik Sumatra Barat adalah kekalahan berulang-ulang. Tapi kisah budaya Minangkabau adalah kelangsungan hidup. Minangkabau mengingatkan kita bahwa suatu bangsa bisa berada di ujung tombak ideologi-ideologi yang jangkauannya universal dan ambisinya global, tapi mereka tetap bisa setia pada adat lokal yang khas, bahkan heretik, dan relatif egalitarian. Keseimbangan yang dinegosiasi ulang dengan sepenuh jiwa antara Islam dan matriarkat, modernitas dan tradisi, membuat orang Sumatra Barat lelah dengan ekstremisme dan cenderung berkompromi.

Konflik dan interaksi antara matriarkat, Islam reformis, dan negara kolonial menggoyahkan unsur-unsur paling esensial masyarakat Minangkabau. Orang-orang muda Minangkabau yang mengalami kontroversi ideologis ini tidak menemukan ketenangan di rumah mereka, di keluarga mereka, atau di suarau, atau sekolah mereka. Tidak ada yang sakral atau imun dari interogasi. Sumatra Barat pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjadi reaktor pembiak ideologis. Kontribusi disproporsional orang Minangkabau terhadap politik nasional adalah akibat langsung destabilisasi ini. Hamka, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Muhammad Natsir, Haji Agus Salim, Sutan Syahrir, dan pemimpin-pemimpin lain yang tak terhitung jumlahnya, digodok oleh rumah-rumah dan sekolah-sekolah di mana semua kebenaran sakral dipertanyakan.

Walau buku ini berusaha menyoroti Minangkabau secara menyeluruh, namun kurangnya angka-angka statistik, serta sepinya kupasan faktor-faktor ekonomi dalam pasang surut perkembangan Minangkabau, menjadikan karyanya tak sempurna 100%. Padahal, seperti yang telah dicatat Christine Dobbin dalam bukunya, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy, Central Sumatra 1784-1847 (Curzon Press, 1983), faktor ekonomi menjadi salah satu kunci kemajuan Minangkabau.

Pada akhirnya, bak kata pepatah lawas, “tak ada gading yang tak retak”. Kekurangan dalam buku inipun, tak menghalangi kita untuk menempatkannya sebagai bahan pembanding, dalam memahami soal-soal Minangkabau yang kompleks.
Sumber :
http://afandri81.wordpress.com/2010/12/09/mencari-akar-dinamisme-minangkabau/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar